Senin, 13 Agustus 2012

MUDIK


Posted by Picasa saatnya kita mudik

Maleman Sriwedari



Sesaat setelah Sinuhun Paku Buwono X naik tahta dan diminta pemerintah Belanda meneken perjanjian Verklaring 25 Maret 1893 dan Acte van Verband 30 Maret 1893, kekuatan politik raja melorot. Kemapanan kekuasaan raja yang baru saja diganjar gelar pahlawan nasional ini kian terusik akibat bergulir gagasan reorganisasi agraria di permulaan abad XX oleh pejabat kolonial.
Praktik ini berimbas tanah milik keraton sebagai alat pengukur luasnya kekuasaan petinggi kerajaan menyusut karena tanah dikelola oleh rakyat pedesaan (kelurahan). Intervensi toewan kulit putih makin menjadi-jadi. Sinuhun beserta kerabatnya bagai menelan empedu. Ruang negosiasi politik menyempit. Walhasil, tiada pilihan lain bagi raja kecuali unjuk kekuatan di ranah simbol dengan mempertimbangkan dunia Jawa berjalin kelindan dengan bermacam simbol.
Guna memancarkan kembali pengaruh hegemoni istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan memuluskan konsep manunggaling kawula-gusti, lantas Sunan Paku Buwono X yang doyan berdansa polonaise dan dijuluki Kaisar Jawa ini mengizinkan penyelenggaraan Maleman Sriwedari di Kebon Raja.
Sampai sekarang fakta sosial-kultural ini masih kuat membekas di sudut hati masyarakat dan kuat tertanam di dalam ingatan kolektif. Detik itu, selain menambah komplet suguhan di kompleks Taman Sriwedari, Maleman Sriwedari ditetapkan jadi acara tahunan dan primadona era itu.
Keramaian dan panorama Sriwedari dapat kita temukan dalam petilan fakta yang terekam di novel sejarah Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Pada suatu sore di Kota Solo, awan gemawan bersinar terang sehingga membuat masyarakat kota itu menjadi amat bahagia. Lebih-lebih pada malam-malam harinya di Sriwedari akan ada keramaian yang diselenggarakan Kerajaan Kasunanan (tanggal 25 Puasa). Sudah barang tentu, pada saat itu, di jalan-jalan banyak orang yang berpakaian bagus akan datang ke Sriwedari.
Kala itu, pelancong dari luar kota merasa kurang lengkap ketika berkunjung ke ”surganya Hindia Belanda” ini bila belum bermain ke ruang publik Taman Sriwedari. Maleman Sriwedari mendorong ruang Taman Sriwedari menjadi pusat budaya dengan pancaran sinar lampu sokle yang seakan lambaian tangan mengajak kawula dolan rame-rame ning Kebon Rojo.
Bahkan, komunitas Arab dan Tionghoa turut berkerumun menikmati tampilan wayang orang, bioskop, reog dan aneka hiburan lainnya. Terjadilah interaksi sosial lintas etnis dan lintas kelas. Para pengunjung makin terpuaskan dengan dijualnya suvenir dan makanan khas tradisional Jawa.
Ternyata strategi politik simbolis Paku Buwono X ampuh dan tak rapuh. Berjalan tanpa harus menimbulkan konflik kelas dan tak menerbitkan kecurigaan bule Belanda. Kebesaran raja tetap awet di mata rakyat hingga akhir hayat, walau realitasnya tergencet oleh politik kolonial.
Maleman Sriwedari benar-benar laksana ”surga” bagi masyarakat di level akar rumput. Pada masa itu wong cilik menjadi saksi ketegangan kota yang kemudian terpinggirkan oleh perubahan kota dengan berbagai fasilitas perkotaan seperti trem, listrik, schouwburg purbajan dan societiet harmonie.
Mereka yang bukan dari strata sosial tinggi itu tak sanggup menggapainya. Budaya kota ala Eropa telah memarginalkan penduduk pribumi berkantong tipis. Mau tak mau hiburan tradisional Maleman Sriwedari dan Malem Selikuran akhirnya jadi pengobat rasa lelah, selain perayaan Sekaten dan perayaan malam 1 Sura tentunya. Mereka menemukan sejumput kelegaan di sini.

Sabtu, 11 Agustus 2012

KH. Agus Salim & Homeschooling



H.Agus Salim sering disebut sebagai tokoh yg melakukan Homeschooling thd anak-anaknya. Tentu terdapat berbagai cara dlm melakukan proses pendidikan tersebut. Agus Salim sendiri tdk menentukan jam belajar dan bermain bagi anak-anaknya secara ketat. setiap ada kesempatan ia gunakan untuk mendidik mereka. Intinya membuat anak selalu ingin tahu dan mengajarkan dimana mereka bisa memuaskan keingintahuan tersebut melalui BUKU.

Jef Last, wartawan dan aktivis sosialis belanda bertanya mengapa putra Agus Salim begitu fasih berbahasa inggris, padahal tidak belajar di sekolah?Agus salim pun menjawab, "apakah anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah tempat kuda belajar meringkik?kuda-kuda tua meringkik sebelum anak-anak kuda ikut meringkik. begitu pula saya, meringkik dalam bahasa inggris dan putra saya juga meringkik dalam bahasa inggris. Suatu kali, Syaukat anak Agus Salim yg baru berusia 4 tahun keluar kamar tidur meminta punggungnya digaruk oleh ayahnya karena gatal. sang balita fasih berbahasa belanda dengan baik. sejak bayi anak-anak Agus Salim sudah diajari berbahasa belanda dan diajari menyanyi belanda. tanggal 28 Oktober 1928, ketika WR Supratman menyanyika lagu INDONESIA RAYA dengan biola, putri pertama Agus Salim yg bernama Dolly saat itu berusia 15 tahun mengiringi dengan piano.Dolly sejak usia 6 tahun sudah membaca buku detektif berbahasa belanda. adiknya, Totok didapati Moh. Roem sedang membaca buku Mahabharata juga dalam bahasa belanda.

Dari kisah yg dituturkan oleh Moh. Roem tampak bahwa Agus Salim beberapa kali berpindah rumah semasa di Batavia, semuanya rumah yang sederhana. Hanya satu kamar yg dipakai oleh keluarga, ruangan yg lebih besar justru digunakan untuk diskusi. seorang pemuda lain, Kasman Singodimedjo, yg juga sering bertamu ke rumah beliau, Agus Salim pernah berkata, "Leiden is lijden ", artinya memimpin itu menderita. Tidak ada warisan yg berlimpah yg diturunkan kepada putra-putrinya, kecuali ILMU dan sikap merdeka yg diajarkan melalui homeschooling.

teks oleh : Asvi Warman Adam, menyingkap tirai sejarah.


Monumen Suyono




Tanggal 11 Agustus 1949 pada pukul 12.00 tengah hari seorang utusan Kolonel Ohl, dengan membawa bendera putih minta izin untuk menghadap Letnan Kolonel Slamet Rijadi yg sedang berada di markas darurat, Istana Kembang Banowati di selatan simpang empat Baron. dua jam kemudian , Kolonel Ohl datang dan perundingan untuk membahas pelaksanaan gencatan senjata bisa dimulai. sekitar pukul 16.30 , Slamet Rijadi bersama Ohl keluar dr ruangan . Mereka menyatakan bahwa perundingan tahap pertama dinyatakan selesai dengan menghasilkan lima butir keputusan.
1. Belanda meminta pasukan TNI mundur sampai batas kota dan semua rintangan jalan dsingkirkan
2. Belanda berjanji aksi teror tdk akan terulang lagi dan rdk akan ada pembalasan terhadap rakyat yg pernah membantu gerilya, kemudian pasukan baret hijau akan secepatnya dipulangkan ke Semarang.
3. sejak hari jumat, 12 Agustus 1949 seluruh pasukan belanda akan di-konsinyir di masing-masing markas.
4. setiap aksi teror dr pihak belanda akan dilaporkan kpd komandan TNI begitu pula sebaliknya.
5. serah terima Kota Solo diharapkan bisa berlangsung pd pertengahan bulan Agustus 1949.

Gambar diatas adalah saksi bisu pertemuan 2 pimpinan masing-masing pihak:dr Republik Indonesia melalui Letkol Slamet Rijadi serta dr pihak Kerajaan Belanda oleh Kolonel Ohl. yg tersisa untuk generasi muda saat ini utamanya yg ada di Kota Solo adalah bangunan rumah Istana Kembang Banowati yg tidak terawat dan tdk banyak orang yg mengenal apa peran bangunan itu saat ini.
Lokasi : Jl. Bhayangkara, sekarang dikenal dgn Monumen Suyono

Serangan Umum 4 Hari di Kota Solo




Pasukan Gerilya menyerbu kota solo sejak tanggal 7 agustus 1949 dan nantinya lebih populer dengan sebutan Serangan Oemoem, sebuah serangan yg merupakan puncak rangkaian serangan sebelumnya, sejak serangan umum pertama tanggal 8 Februari yg dilanjutkan dnegan serangan umum yg kedua tanggal 2 mei 1949.
Tanggal 8 Februari 1949, bertepatan dgn hari ulang tahun Pangeran Diponegoro, Achmadi bersama anak buahnya utk pertama kali menyerang Kota Solo.Pertempuran berlangsung hingga Rabu dini hari sekitar pukul 03.00. Para gerilyawan menghilang ke luar kota setelah membakar habis Toko Drie Hoek di Pasar Legi dan Eng Bo serta Toko Obral di Singosaren. tanggal 2 Mei 1949,hari kelahiran tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara diperingati oleh tentara pelajar dengan menyerbu solo pada senja hari bertujuan untuk menculik para pengkhianat dan kolaborator

Hari Minggu, 7 Agustus 1949 pukul 06.00 secara serempak serangan dimulai dengan menyerbu kedudukan Tentara Belanda. Serangan tersebut datang dr seluruh penjuru kota sehingga memaksa Tentara Belanda hanya mampu bertahan di markas masing-masing. sekitar pukul 15.00, Blelanda melakukan serangan balasan dengan menggunakan pesawat terbang yg langsung melakukan pengeboman secara membabi buta.
Senin pagi, 8 Agustus 1949 sejak subuh pertempuran telah kembali berkobar. ternyata dalam kegelapan malam, para gerilyawan telah memutuskan saluran komunikasi antar markas belanda. semangat tempur pasukan belanda mjd semakin luruh ketika dalam keremangan pagi mereka melihat bendera Merah putih telah berkibar di kampung-kampung.
Serangan ke Kota Solo semakin gencar . selama 2 hari belanda mendatangkan sejumlah pesawat Mustang untuk melakukan straffing pd lokasi yg diduga menjadi konsentrasi para gerilyawan. pada hari ketiga dr semarang didatangkan pasukan infanteri, kavaleri berikut pasukan baret hijau tp konvoi bantuan tersebut tidak dapat memasuki kota solo karena terhalang rintangan jalan dan dihadang pasukan TNI di Boyolali.
Puncak serangan terjadi pd tanggal 10 agustus 1949 dgn ikut sertanya pasukan TNI Brigade V yg dipimpin oleh Letkol Slamet Rijadi. sejak pagi hari sampai tengah malam mereka bahu-membahu bersama Tentara Pelajar menghajar semua pertahanan belanda.

Pertempuran selama 4 hari itu sangat mengejutkan Kolonel Ohl, komandan Tentara Kerajaan (Koninjkle Leger) di Soerakarta. Dia sama sekali tdk menduga bahwa pasukan pasukan Republik masih mampu melakukan serangan militer dalam skala besar.

Gambar diatas adalah evakuasi Pasukan Tentara Kerajaan Belanda yg ada di Poerwosariweg (Jl. Slamet Riyadi).

Malam Selikuran dan Festival Ting


Sultan Agung Hanyokrokusumo banyak memberi warna Islam di Mataram (1613-1645). Raja besar itu berhasil memadukan dengan harmonis antara tradisi budaya Islam yang diwariskan oleh para wali dengan tradisi Hindu-kejawen yang telah lama tumbuh dan hidup dalam masyarakat Jawa
Salah satunya adalah tradisi menyambut malam Lailatul Qadar –masyarakat Jawa menyebutnya malam selikuran, yaitu ritual pada malam-malam tanggal ganjil pada sepertiga terakhir bulan Ramadan. Tak hanya Sultan Agung, para penerusnya pun tetap melestarikan tradisi malam selikuran bahkan ketika kerajaan terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Itulah sebabnya di masyarakat pedesaan wilayah Yogyakarta dan Surakarta, tradisi malam selikuran ini tetap terpelihara hingga kini.
Lewat tembang Dandanggula dalam ”Serat Wulengreh”, Paku Buwono (PB) IV sangat mengagungkan peristiwa Lailatul Qadar. Lebih dari 200 tahun silam, Raja Surakarta itu menulis; Jroning Quran nggoning rasa jati/ Nanging pilih wong kang uninga/Anjaba lawan tuduhe/Nora kena binawar/Ing satemah nora pinanggih/Mundhak katalanjukan/Temah sasar susur/Yen sirdayun waskitha/Kasampurnaning badanira puniki/Sira anggegurua.
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah; Alquran adalah tempat rasa sejati. Namun tidak setiap orang bisa mengetahuinya, kecuali mereka yang tekun beribadah dan patuh kepada Allah SWT. Mereka yang ingkar tidak akan pernah menemukan cahaya seribu bulan, namun akan tersesat. Dengan waspada, kalian akan mendapatkan kesempurnaan, dan karena itu kalian harus berguru.
“Serat Wulangreh” sendiri merupakan ajaran yang menunjukkan kedalaman Alquran. Pada dua baris pertama tembang “Dandanggula” itu, misalnya, Sang Raja menuturkan tentang pentingnya penghayatan Alquran dan orang-orang terpilih yang memahaminya. Ungkapan itulah yang mengilhami masyarakat Jawa dalam menghayati Alquran, serta keyakinan adanya misteri “cahaya seribu bulan” yang turun pada malam Lailatul Qadar.
Tradisi malam selikuran di Keraton Kasunanan Surakarta, konon berpegang pada “Serat Ambya”, di mana pada setiap tanggal ganjil mulai tanggal 21 Ramadan, Nabi Muhammad SAW turun dari Jabal Nur. Di Gunung Nur itulah Rasulullah menerima wahyu ayat-ayat Alquran dari Allah SWT.
Malam selikuran atau puasa malam ke-21 tampaknya lebih istimewa di bandingkan malam-malam ganjil lain. Pada malam itukah Keraton Kasunanan Surakarta menggelar ritual “Hajad Dalem Selikuran” atau “Ting Hik”, sebuah ritual untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadar.
Ritual ini berupa arak-arakan arak-arakan para ulama keraton, sentana dalem maupun abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa aneka sesaji dan lampu ting atau lampu teplok, dari halaman keraton menuju Taman Sriwedari, sejauh sekitar 3 kilometer. Di sepanjang jalan, para ulama melantunkan salawat dengan iringan rebana. Di barisan lain, para abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa ting, meneriakkan ungkapan simbolik tong-tong-hik yang bermakna seruan kebaikan.
Beberapa tahun lalu, prosesi ritual malam selikuran selalu digelar di kupel Segaran Sriwedari yang letaknya berada di tanah berbentuk bukit kecil di di tengah kolam. Namun karena air kolam tak lagi jernih dan Taman Sriwedari tak lagi terawat, prosesi pindah ke pendapa. Di tempat itulah para ulama utusan Paku Buwono mengadakan kenduri. Para abdi dalem dan ulama menggelar doa bagi keselamatan bersama. Di sekitar pendapa itu pula ratusan warga menunggu.
Lampu ting juga menjadi simbol ketika Nabi Muhammad menerima wahyu berupa Alqur’an di Gunung Nur, sehingga pada malam itu menjadi benar-benar terang seperti siang hari. Sedangkan arak-arakan dari Keraton Surakarta menuju Sriwedari merupakan gambaran tentang para sahabat nabi saat membawa obor untuk menyambut turunnya Nabi Muhammad dari Gunung Nur sesaat setelah menerima wahyu.
Ritual “Ting Hik” ini diakhiri dengan ratusan warga yang berebut aneka sesaji berupa nasi tumpeng berikut lauknya. Mereka kemudian menyantap sesaji bersama-sama. Kalangan keraton dan seluruh masyarakat Jawa mengharapkan limpahan berkah dan anugrah, seperti yang telah diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw pada malam Lailatul Qadar.
Di luar tembok keraton, masyarakat pedesaan di kota-kota sekitar Solo masih kukuh melestarikan tradisi menyambut Lalilatul Qadar ini, seperti Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen. Di masyarakat pedesaan, tradisi malam selikuran ini biasa disebut dengan Tradisi ini disebut rasulan. Setiap rumah di wilayah pedesaan biasanya membuat kenduri berupa nasi urap dan dengan lauk sederhana pada setiap malam tanggal ganjil, mulai tanggal 21, 23, 25, 27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan. Masing-masing keluarga kemudian membawa kenduri tersebut ke balai desa atau balai kampung dan meletakkannya secara berjajar di atas tikar.
Tokoh agama setempat akan memimpin doa keselamatan dengan harapan cahaya Lailatul Qadar akan memberkahi seluruh masyarakat desa. Begitu doa selesai, kenduri yang berjajar-jajar kemudian diputar layaknya kado silang, sehingga seseorang tidak akan membawa pulang kembali kenduri yang semula dibawa dari rumah.Tradisi rasulan biasanya dilaksanakan pada sore hari menjelang matahari terbenam. Selepas pembagian kenduri, warga tidak langsung pulang. Mereka akan melakukan tirakatan sampai lewat tengah malam, menanti turunnya malam Lailatul Qadar. Harapan yang besar kepada berkah Lalilatul Qadar yang diturunkan Allah SWT secara misterius itu tampaknya menjadi sebuah kekuatan mengapa tradisi malam selikuran tetap lestari.

teks: solodejava.blogspot.com

Solo & Transportasi Publik


masih hangat berita peluncuran perdana Railbus Bathara Kresna, 5 Agustus 2012 yg melayani rute Sukoharjo-Solo-Jokjakarta. railbus adalah salah satu pilihan transportasi publik yg jamak ada di kota besar untuk mengangkut perpindahan manusia dari satu lokasi ke lokasi lainnya.keberadaannya jg merupakan solusi penanganan masalah lalu lintas yg makin padat.seiring perkembangan kota ternyata berbanding lurus dengan kepadatan lalu lintas.

Sejarah perkembangan transportasi publik di Kota Solo sudah dimulai sejak hampir 100 tahun lalu pada masa kekuasaan PakuBuwono X. beliau bersama pemerintahan Hindia Belanda membangun jaringan transportasi publik yg tengah populer waktu itu yaitu kereta api dan tram.Kekuasaan PB X tidak hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan saja, beliau juga memikirkan kepentingan rakyatnya yg hidup di wilayah Vorstenlanden, menurut Babad Sala yg ditulis oleh RM.Sajid, jalur trem dimulai dari depan Benteng Vastenburg, lalu ke Kauman dan menuju Derpoyudan hingga Pasar Pon. Keterangan ini juga menyebut jalur di halte Pasar Pon ini memungkinkan trem dari dua arah dapat bertemu. Selanjutnya jalur trem melintasi Sriwedari hingga Purwosari. Jalur trem juga membentang ke barat hingga Gembongan (wilayah Kartasura).

gambar diatas adalah salah satu bukti keberadaan Tram yg masih ditarik oleh 2 ekor kuda dan sdh ada kondektur yg menarik ongkos kepada para penumpang yg menaiki tram tersebut. Foto itu diambil oleh fotografer Onnes Kurkdjian, diambil sekitar tahun 1895-1920.Lokasi pengambilan foto ada di gladag (Lodjiwoeroeng), gambar sebelah kirinya bs diidentifikasi sbg Gereja Protestan (GBIP Penabur) yg dibangun tahun 1832 dan sebelah kanan gambar masih banyak tanaman besar yg menjadi bagian depan dr Beteng Vastenburg.