Kuliner yang bagi saya sangat luar biasa, porsi yang luar biasa dan tentu saja harganya yang masih luar biasa terjangkau untuk kantong saya yang ngepas. pas untuk beli nasi goreng ini satu porsi.
Judul yang saya beri tanda kurung bukan berkonotasi negatif tapi cuma sekedar memberi kesan bombastis. Nasi goreng dan kawan-kawanya bisa dengan mudah ditemui di warung-warung di pinggir jalan-an Kota Solo. Dan uniknya warung nasi goreng yang saya temui hampir sebagian besar dimasak oleh para pria. Semua porsi nasi goreng mawut disajikan dengan porsi yang luar biasa besar, lengkap di dalamnya ada suwiran daging ayam, hati ayam, sebagian telur dadar yang dicacah, ditambah bagian kecil bakmi jawa dan dicampur dengan bumbu khas indonesia yang kaya (kalo ini tidak usah saya sebutkan terbukti portugis, spanyol, belanda begitu tertarik untuk datang ke indonesia pada masa lampau).
Harga yang tentu saja terjangkau tentu semakin membuat saya takjub dengan masakan ini. Postur tubuh saya yang kecil ternyata tidak berpengaruh dengan kapasitas porsi nasi goreng mawut, pun.tetap saja habis, entah ini karena lapar atau doyan.
Ngomong-ngomong tentang nasi goreng mawut ini, saya jadi ingat tentang apa yang telah saya lakukan beberapa bulan terakhir bersama sahabat-sahabat baik saya yang ternyata masih mempunyai jiwa idealisme dan militan. Kami melakukan beberapa kegiatan yang misal jika dihitung-hitung secara finansial tidak ada artinya, tapi bukan itu intinya. Jujur saja saya jenuh dengan rutinitas pekerjaan di kantor yang monoton sehingga saya butuh melakukan relaksasi bersama sahabat-sahabat saya. Kami melakukan kegiatan yang memang tidak jauh-jauh dari bidang keilmuan kami, yaitu arsitektur- seni dan teknik merangkai ruang untuk aktifitas manusia baik dari skala kecil sampai skala besar-.
Kami sering berdiskusi tentang kondisi ruang yang ada di kota kami, Kota Solo. Sampai kemudian tergerak untuk melakukan kegiatan pendampingan kampung secara kecil-kecilan sampai dengan kompetisi tentang pengolahan ruang jalan yang berkaitan erat dengan kawasan bersejarah. Diskusi amatiran cuma berdasarkan pengalaman dan pengamatan karena kami bukan dari akademisi, bukan dari institusi resmi dan bukan juga dari mahasiswa urban desain. kami ya seperti ini, seperti nasi goreng mawut dengan porsi yang luar biasa dari gabungan beberapa bahan yang sangat tersedia di pasar-pasar tradisonal, bukan dari hypermart dan sejenisnya. Kami diolah bukan oleh koki lulusan master chef stasiun tivi tapi dari kami sendiri. saling mengingatkan dan saling belajar.
Ada waktunya ketika setiap proses yang kami lakukan akan menghasilkan pencapaian -yang bagi kami- sangat luar biasa dan hari ini adalah saatnya nasi goreng mawut kami bisa mendapatkan harga yang pantas untuk segala olahan kami yang sederhana. Olahan dari dapur yang menempati rumah sederhana di kebun anggur. Semoga saja cukup menggigit bagi penggemar nasi goreng mawut.